Negara berkewajiban untuk memenuhi haknya yang paling mendasar yaitu pencatatan identitas sebagai warga negara yang sah. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945, terdapat dalam pasal 28 B ayat 2 yaitu: “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Jaminan UUD ini diperkuat oleh hak-hak anak diberbagai Undang-Undang, antara lain Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM maupun Undang-Undang No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, jelas menyatakan Akta Kelahiran menjadi hak anak dan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhinya.
Dalam suatu diskusi yang bertajuk tentang Proses Pencatatan Akta Kelahiran Anak Jalanan di DKI Jakarta, beretmpat di BKKKS Jakarta Pusat (22/11). Membahas secara detail lika-liku pembutan Akta Kelahiran untuk anak jalanan, acara ini didukung oleh YKAI, Plan, Aviva, Street to School, dan Rumah Singgah. Planing pembuatan Akta Kelahiran untuk 1.500 anak jalanan dalam jangka dua tahun, berproses secara maraton dalam melaksanakan rangkaian acara pencatatan Akta Kelahiran. Amrullah, ketua Plan Indonesia menjelaskan dalam sambutannya. Plan mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap beberbagai pihak yang telah membantu program pembuatan Akta Kelahiran anak jalanan dan anak terlatar, ujarnya. Terutama kepada Mahkamah Agung yang telah bersedia menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), dengan Nomor 06 Tahun 2012 tentang, “Pedoman Penetapan Pencatatan Kelahiran Yang Melampaui Batas Waktu Satu Tahun Secara Kolektif, tahmbahnya.
Sementara Joko narasumber dari Dukcapil mengatakan, “Jakarta adalah kota kita, jangan sampai Jakarta yang kita cintai ini terbebani oleh pendatang, sementara warga DKI sendiri terabaikan”. Akan tetapi sebagai pejabat pelaksana ujarnya, terus berusaha mempermudah prosedur dan meminimalisir pembuatan Akta Kelahiran. Meskipun Undang-Undang telah baku menjamin hak pencatatan Akta Kelahiran faktanya ditataran pelaksanaan masih menemukan kendala-kendala yang berhubungan dengan persyaratan. Anak jalanan sendiri berada pada situasi yang sangat sulit sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, menyatakan “keterlambatan satu sampai dengan lima tahun harus melalui penetapan Pengadilan Negeri”. Seperti di jelaskan di atas pengadilan hanya memproses penetapan bagi pemohon yang hukum acaranya lengkap.
Jadi permasalahan pembuatan Akta Kelahiran bagi anak jalanan dan anak terlantar, menjadi terang jika persyaratan anak yang bersangkutan sudah lengkap. Tapi bagi anak yang persyaratannya tidak lengkap dan tidak ada identitas hukum sama sekali masih terasa abu-abu, atau bahkan masih gelap. Situasi ini yang menjadi peran sentral pengurus rumah singgah bekerjasama dengan Plan dan tim, untuk terus berupaya sekuat tenaga mencoba merealisasikan penerbitan identitas utama mereka sebagai warga negera Republik Indonesia, yaitu Akta Kelahiran. (asm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar